Headlines News :
Home » , , , » SURAT SERUAN PROTES TERBUKA

SURAT SERUAN PROTES TERBUKA

Written By suaragolgota on Sabtu, 24 September 2022 | September 24, 2022

 


SURAT SERUAN PROTES TERBUKA

No.01/SEKBER-DASSPA/MMK/VIII/2022

TENTANG

MENYIKAPI “KE-4 WARGA YANG DITEMBAK, DIBANTAI, DI BUNUH DAN DI MUTILASI OLEH TENTARA NASIONAL INDONESIA  PADA 22 AGUSTUS 2022 DI UJUNG JALAN BUDI UTOMO TIMIKA-PAPUA.”

 

Segala Perampokan, Penembakan, Pembunuhan dan Pemutilasian bagi warga masyarakat Papua di mulai sejak tanggal 19 Desember 1961, Soekarno (Presiden Indonesia) mengumumkan pelaksanaan Trikora (Tiga Komando Rakyat) di Alun-Alun Utara Yogyakarta.

Selanjutnya Soekarno juga membentuk Komando MandalaMayor Jenderal Soeharto diangkat sebagai panglima. Tugas komando ini adalah untuk merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer besar-besaran di Tanah Papua untuk menggabungkan Papua ke dalam Indonesia.

Indonesia ialah pegiat pelanggar Hak Asasi Manusia di Tanah Papua. Lebih jauh kita melihat korban kekerasan militer NKRI dari awal kedudukannya di West Papua sampai tahun 2022. Pemerintah Indonesia lebih menyukai jalan operasi militer sebagai pola penyelesaian dan mempertahankan masalah Papua Barat. Kekuatan keamanan Indonesia telah menyelenggarakan berbagai operasi militer yang masif sejak 19 Desember 1961 setelah adanya Trikora. Pada setiap kali operasi militer tersebut NKRI memberikan nama khusus. Berikut operasi militer yang pernah dilakukan di Papua

  1. Operasi Jayawijaya (1961-1962) Setelah  Komando  Trikora  dicanangkan di  Yogyakarta  pada  tanggal  19  Desember  1961, operasi militer dilakukan di Tanah Papua dan banyak orang asli Papua yang disiksa, di tembak dan dibunuh secara sadis.
  2. Operasi Wisnumurti (1963-1964) Operasi ini tugas utama adalah menghancurkan TPN/OPM yang bergerak di sekitar Manokwari dan Kebar, sekaligus untuk menangkap Ferry Awom dan Julianus Wanma. Operasi yang dilancarkan sejak  10  Agustus  1965  ini  dilancarkan secara  intensif  dari  kampung  ke  kampung  yang menjadi basis perlawanan OPM. dalam operasi ini dilaporkan 36 penduduk tewas dan banyak yang luka-luka.
  3. Operasi Sadar, dimulai tahun 1965 dan berakhir setelah dua tahun banyak Orang Papua yang tertembak mati;
  4. Operasi Barathayuda, dimulai tahun 1967. Melalui operasi ini dikabarkan 3.500 orang Papua meninggal;
  5. Operasi Wibawa (Operasi Otoritas), tahun 1969. Elieser Bonay, gubernur pertama Provinsi Papua, menyebutkan sekitar 30.000 masyarakat Papua mengalami pembunuhan oleh militer Indonesia antara tahun 1963 dan 1969. Frank Galbraith, Duta Besar Amerika Serikat untuk Jakarta saat itu, melaporkan kepada Washington (1969), bahwa operasi militer Indonesia telah mengorbankan ribuan orang asli Papua dan dikhawatirkan seperti dalam rumor yang beredar, ada “niat genosida.”
  6. Operasi militer pada tahun 1977, sasaran utamanya di Jayawijaya. Dalam operasi itu sekitar 12. 397 masyarakat Papua dibunuh;
  7. Operasi Sapu Bersih I dan II, diawali tahun 1981. Dalam operasi ini sedikitnya 1.000 orang di Kabupaten Jayapura dan 2.500 di Kabupaten Paniai telah terbunuh;
  8. Operasi Galang I dan II pada tahun 1982 dalam operasi ini sedikitnya ribuan masyarakat Papua telah terbunuh;
  9. Operasi Militer Tumpas (Annihilation Operation). Yang dimulai tahun 1983 dan 1984; Banyak masyarakat Papua yang disiksa, ditembak dan dibunuh.
  10. Operasi Sapu Bersih. Dalam operasi tersebut pasukan militer telah membunuh sedikitnya 517 orang dan sekitar 200 rumah dibakar;
  11. Operasi Kasuari di Mapenduma. Operasi ini dilakukan tahun 1996. Sedikitnya 35 orang ditembak mati, 14 perempuan diperkosa, 13 gereja dimusnahkan dan 166 rumah dibakar. Ketika itu 123 masyarakat sipil meninggal dunia karena sakit dan kelaparan di hutan. Pada tahun 1998 militer Indonesia ditarik kembali dari Papua. Status Daerah Operasi Militer (DOM) dicabut. Tetapi orang Papua yang pergi berburu di hutan masih dicap sebagai separatis;
  12. Operasi militer yang diselenggarakan pada tahun 2001 di Kabupaten Manokwari. Dalam operasi ini 4 orang terbunuh, 6 lainnya mengalami penyiksaan, 1 perempuan diperkosa, dan 5 orang tidak ditemukan;
  13. Operasi militer yang diluncurkan antara bulan April dan November 2003 di Wamena, Jayawijaya dan sekitarnya. Ditutup dengan lingkaran penjagaan di seluruh wilayah. Akses kelompok kerja gereja dan pekerja HAM ditolak selama operasi. Dalam operasi itu 9 orang terbunuh, 38 orang mengalami penyiksaan dan 15 lainnya ditahan secara sewenang-wenang. Ribuan masyarakat dari 25 kampung mengalami pengungsian, disertai kematian sekitar 42 orang yang mengungsi. Aparat militer juga membakar rumah, gedung gereja, sekolah dan pos kesehatan seluruh kampung itu;
  14.  Operasi militer yang diselenggarakan di Kabupaten Puncak Jaya pada tahun 2004. Sedikitnya 6.000 orang Papua dari 27 kampung sekitarnya mengungsi di hutan, sekitar 35 orang (termasuk 13 lainnya anak-anak) meninggal di kamp dimana mereka mengungsi.
  15. Operasi militer di Nduga Tahun 2018  karena adanya kombatan senjata antara TNI/POLRI dan TPNPB/OPM maka Masyarakat yang mengungsi terdapat 4.276 pengungsi di Distrik Mapenduma, 4.369 pengungsi di Distrik Mugi, 5.056 pengungsi di Distrik Jigi, 5.021 pengungsi di Distrik Yal, dan 3.775 pengungsi di Distrik Mbulmu Yalma. Para pengungsi juga tersebar di Distrik Kagayem sebanyak 4.238 jiwa, Distrik Nirkuri sebanyak 2.982 jiwa, Distrik Inikgal sebanyak 4.001 jiwa, Distrik Mbua sebanyak 2.021 jiwa, dan Distrik Dal sebanyak 1.704 jiwa. banyak ibu-ibu yang melahirkan di hutan karena kesulitan mengakses pertolongan medis. Banyak kondisi balita yang tidak bisa mencukupi gizinya dengan baik saat berada di tempat pengungsian karena bahan makanan yang dibutuhkan tak tersedia dengan cukup bahkan ada masyarakat sipil yang diperlakukan semena-mena oleh aparat hingga meninggal dunia di beberapa kampung. Pendeta Geyimin Nirigi belum diketahui keberadaannya oleh pihak keluarga. Diduga pendeta tersebut telah dihilangkan paksa oleh aparat militer di Distrik Mapenduma dengan cara membakar honainya.Operasi Militer di Intan Jaya 2020 karena adanya Kombatan Senjata antara TNI/POLRI dan TPNPB/OPM akhirnya banyak masyarakat mengungsi dan disiksa sampai  Bapak Pendeta Yeremias Janambani ditembak mati oleh Militer Bersenjata Indonesia (TNI) dan proses hukumnya sampai hari ini kita belum ketahui.

Tujuan utama dari operasi militer di West Papua adalah untuk mengeliminasi orang-orang Papua, yang oleh pemerintah Indonesia dicap separatis. Dewan Adat Suku-Suku Papua, Kelompok kerja HAM lokal maupun internasional memperkirakan 100.000 orang Papua telah terbunuh oleh kekuatan militer Indonesia dari sejak 1961 sampai hari ini.  Pasifnya perhatian hukum terhadap korban operasi militer Sampai saat ini belum ada kepastian menyangkut advokasi dan mengadili semua pelaku operasi yang mengorbankan banyak nyawa itu. Kemungkinan karena negara dianggap telah sukses menganekasaikan bangsa Papua ke dalam NKRI. Pedihnya kesengsaraan akibat penjara, mengungsi, trauma penangkapan, memperkosa serta menembak mati dan memutilasi masyarakat Papua. Semua korban dari hasil operasi militer itu kurang, bahkan jarang sekali mendapatkan keadilan, kebenaran, kepastian, kejujuran bahkan sampai belum ada pembelaan terhadap masyarakat Papua. Semua korban masyarakat Papua akibat operasi militer di West Papua: “TNI dan Polri menembak masyarakat West Papua itu kategorinya pelanggaran HAM. Karena, Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Perang mengatakan kombatan berhadapan kepada bukan kombatan. Sedangkan OPM dan TNI/POLRI baku tembak dan salah satunya mati di tangan musuh. Itu masuk pada kategorinya bukan pelanggaran HAM. Sebab, TNI/POLRI dan TPNPB/OPM adalah sama-sama kombatan dan pelaku yang memiliki senjata.”

Upaya hukum untuk mendapatkan tempat pengadvokasian dan pengadilan yang jelas pun belum terlaksana dengan baik. Korban dan keluarga korban sangat menderita untuk mendapatkan ‘hukum yang aktif’. Terkadang hukum berlaku tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Rakyat tertindas tetap berada di bawah penindasan. Pelaku di vonis dan dipecat namun realitanya “Pecat di Papua aktif di Jakarta atau Pecat di Makasar aktif di Manado,” kelakuan Pengadilan Militer maupun Pengadilan Umum di Republik Indonesia. Dipastikan bahwa semua tindakan dan pembungkaman tercermin dalam pengabdian terhadap kejujuran, keadilan, kebenaran dalam hukum NKRI itu sendiri. NKRI gagal membangun hukum di West Papua. Keyakinan dan kepastian hukum NKRI bagi rakyat Papua sudah usang dan tidak berlaku dan mati. Karena dalam penegakan hukum dan HAM saja tidak jelas, bahkan belum pernah mendapatkan upaya penegakan sedikit pun bagi pelaku kejahatan kemanusian di Tanah Papua.

Berangkat dari ini hari ini kami ditimpa  dengan kasus Perampokan, Penembakan, Pembunuhan dan Pemutilasian dan Para Pelaku Perampokan, Penembakan, Pembunuhan dan “Pemutilasi” telah ditangkap sejak tanggal 27 Agustus 2022 oleh aparat Kepolisian Resort Mimika dan SUBDENPOM XVII/C TIMIKA, Pelaku dari Masyarakat Sipil berjumlah 4 empat) orang sedangkan pelaku dari TNI  6 (Enam) Orang.

Maka kami Sekertariat Bersama (SEKBER) Dewan Adat Suku-Suku Papua (DASSPA) mengeluarkan Surat Seruan Protes Terbuka yaitu:

  1. Kepada Pihak Militer Republik Indonesia segera hentikan segala Kriminalisasi dan Stigmalisasi terhadap ke-4 korban adalah anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Pimpinan Egianus Kogoya untuk membenarkan segala kejahatan Perampokan, Penembakkan, Pembunuhan dan Pemutilasian yang diumumkan berubah-ubah dari jebakan jual beli senjata api dan amunisi kemudian berubah motif kearah murni perampokan adalah sebuah skenario untuk menutupi kejahatan kemanusian yang luar biasa ini.
  2. Kepada Presiden Republik Indonesia selaku Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia bahwa kami tidak setuju proses hukum diselesaikan melalui mekanisme Peradilan Militer bagi Pelaku dari Kalangan Militer dan Juga Proses Peradilan Umum bagi Para Pelaku dari kalangan sipil, kami sangat berharap proses penyelesain kasus ini bisa diselesaikan lewat mekanisme PENGADILAN HAM BERAT dengan Sanksi yang tegas dan maximal bagi Para Pelaku, agar ada keadilan bagi Para Korban dan Keluarga Korban serta ada efek jera bagi Para Pelaku.
  3. Pelaku 6 anggota TNI pembunuhan dipecat tanpa hormat, dan diharapkan kepada Panglima TNI untuk membongkar kasus tersebut, hingga sampai ke akar-akar dan penyelesaiannya harus jujur dan terbuka menyampaikan  transparan kepada keluarga, masarakat Papua, masarakat Indonesia dan masyarakat internasional terkait situasi pelanggaran ham di tanah Papua.
  4. Hentikan segala Operasi yang dilakukan oleh Negara kepada Orang Papua yaitu (1) Operasi Hukum bagi Pemimpin Papua (2) Operasi Intelijen untuk masyarakat Papua (3) Operasi Militer menggunakan senjata antara TNI/POLRI dan TPNPB/OPM yang disebut kombatan.
  5. Presiden Rebuplik Indonesia Ir. Joko Widodo, segera mengundang Komisi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melakukan visi pemantauan pelanggaran HAM di tanah Papua, skaligus membuka akses Wartawan Internasional serta membuka diri untuk berdialog dengan masyarakat orang Asli Papua, secara bermartabat dan berwibawah yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral. Seperti Aceh.
  6. Kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) segera mempasilitasi dan sekaligus menjadi Mediator dalam Dialog atau Perundingan antara Indonesia dan Papua untuk duduk mencari  solusi  atas  problem  sosial  politik  yang  terjadi  di  tanah Papua  pada umumnya  dari  akar  masalahnya,  maka  harus  ada  ruang  dialog  untuk menyelesaikan  akumulasi  masalah-masalah  sosial  politik,  hal  dialog  yang  paling mendasar  adalah  menyelesaikan  akar  masalah  di  Papua  yang  disebut  dengan, “PELURUSAN  SEJARAH, secara  obyektif  dan  masing-masing  pihak  yang  terlibat dalam dialog harus sepakat menerima apapun  hasilnya. Proses ini sangat penting untuk  dilakukan  karena  sangat  menentukan  realitas  integritas  bangsa  Papua  hari ini,  karena  sampai  saat  ini  mengenai  sejarah  integrasi  Papua  oleh  mayoritas masyarakat Papua masih dinilai kabur dan masyarakat tahu karena politik sengaja dikaburkan. Adapun hal-hal yang sangat urgent untuk diklasifikasikan serta menjadi penyebab timbulnya pergolakan politik, dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) ditanah Papua antara lain :

1)  Bahwa sampai saat ini sebagian besar masyarakat Papua membenarkan bahwa Papua  pernah berdaulat sejak tanggal 01 Desember  1961.  Subtansinya  jelas butuh klarifikasi, sebab soal ini ada relevansinya dengan salah satu butir isi Tri Komando  Rakyat (TRIKORA) yang menyatakan  :  Bubarkan  Negara  Boneka Papua buatan Belanda.

2)  Bahwa  lahirnya  New York Agreement (Perjanjian New York) tanggal 15 Agustus 1962 oleh  Mayoritas  Rakyat  Papua  dipertanyakan  dasar  hukumnya, karena rakyat Papua menganggap itu sebagai pelecehan terhadap integritasnya, karena sebagai  anak  negeri  yang  hidup  diatas  tanah  ini  tidak pernah  diikut  sertakan  dalam  perundingan-perundingan  antara  Indonesia, Belanda dengan fasilitator Mr. Elswort  Bunker  sebagai  wakil  Perserikatan Bangsa-Bangsa  padahal  sangat  disadari  bahwa  konsep  Elwort  Bunker  itulah cikal bakal isi Perjanjian New York 1962 yang menentukan masa depan bangsa dan tanah ini.

3)  Bahwa  Penyerahan  Kedaulatan dari Belanda  ke  UNTEA  dan  UNTEA  ke Indonesia  menurut  Perjanjian  New York  dilakukan  dengan  dua  tahap  dengan mekanisme  tahap  pertama Belanda  menyerahkan  kedaulatan  tanah  ini ke UNTEA dan tahap kedua UNTEA akan menyerahkan kepada Indonesia dengan syarat setelah diserahkan kepada Indonesia akan dilakukan self determination, plebisit  atau  lebih  dikenal  dengan  PEPERA  (Penentuan  Pendapat  Rakyat) dengan batas waktu akhir tahun 1969.

4)  Bahwa  Rezim  Orde  Baru  telah  mengingkari  perjanjian  New  York  1962  yang pada dasarnya menyatakan bahwa dalam semangat Perjanjian New York 1962 dan Statuta Roma 20-21 Mei 1969 dilakukan untuk kepentingan dan kesejahteraan  rakyat  Papua  namun  kenyataan  yang diterima oleh  masyarakat Papua sejak Penentuan Pendapat Rakyat sampai adanya Kabinet Pembangunan  dibawah rezim Suharto justru tidak  menunjukan  realisasi semangat tersebut;

5)  Bahwa di Era Reformasi sejak tumbangnya Rezim Orde Baru, baik masa pemerintahan Presiden Habibie, Gusdur, Megawati, Susilo Bambang Yudoyono dan kini dibawah Pemerintahan Joko Widodo, persoalan PELURUSAN SEJARAH, belum mendapat respon penyelesaikan secara bermartabat.

Demikianlah Surat Seruan Protes Terbuka dan atas perhatiannya disampaikan terima kasih. Tuhan memberkati.

Timika, 10 September 2022

 

Mengetahui an. Keluarga Korban

Ketua Umum Dewan Adat Suku Nduga Kabupaten Mimika

 

 

TTD

ELIPANUS WASAREAK

Fasilitator

Sekertariat Bersama

 Dewan Adat Suku-Suku Papua

TTD

   D E S E R I U S   A D I I

 

 

 

TURUT DI DUKUNG OLEH :

1.      Ketua Dewan Adat Suku-Suku Wilayah Mamta di Timika

2.      Ketua Dewan Adat Suku-Suku Wilayah Saireri di Timika

3.      Ketua Dewan Adat Suku-Suku Wilayah Domberay di Timika

4.      Ketua Dewan Adat Suku-Suku Wilayah Bomberay di Timika

5.      Ketua Dewan Adat Suku-Suku Wilayah Ha. Anim di Timika

6.      Ketua Dewan Adat Suku-Suku Wilayah Mee Pago di Timika

7.      Ketua Dewan Adat Suku-Suku Wilayah La Pago di Timika

8.      Ketua Dewan Adat Suku Kamoro di Timika

9.      Ketua Dewan Adat Suku Amungme di Timika

10.  Ketua Dewan Adat Suku Mee di Timika

11.  Ketua Dewan Adat Suku Damal di Timika

12.  Ketua Dewan Adat Suku Moni di Timika

13.  Ketua Dewan Adat Suku Nduga di Timika

14.  Ketua Dewan Adat Suku Lani di Timika

15.  Ketua Dewan Adat Suku Dani di Timika

16.  Ketua Dewan Adat Suku Biak di Timika

17.  Ketua Dewan Adat Suku Nabire di Timika

18.  Ketua Dewan Adat Suku Manokwari di Timika

19.  Ketua Dewan Adat Suku Sorong di Timika

20.  Ketua Dewan Adat Suku Asmat di Timika

21.  Ketua Dewan Adat Suku Marind Merauke di Timika

22.  Ketua Dewan Adat Suku Mappi di Timika

23.  Ketua Dewan Adat Suku Fak-Fak di Timika

24.  Ketua Dewan Adat Suku Kaimana di Timika

25.  Ketua Dewan Adat Suku Ngupel Ngalum di Timika

26.  Ketua Dewan Adat Suku Jayapura di Timika

27.  Tokoh-Tokoh Agama dari 7 Wilayah Adat di Timika

28.  Tokoh-Tokoh Adat dari 7 Wilayah Adat di Timika

29.  Tokoh-Tokoh Pemuda dari 7 Wilayah Adat di Timika

30.  Tokoh-Tokoh Perempuan dari 7 Wilayah Adat di Timika

31.  Keluarga Korban (4 Korban Keluarga) di Timika































































Share this post :
 
Support : Website | Jemaat Golgota | Gereja Kingmi
Copyright © 2017. SUARA GOLGOTA - All Rights Reserved
Template Created by Websiteby Bukit Golgota
Proudly powered by --