No.01/SEKBER-DASSPA/MMK/VIII/2022
TENTANG
MENYIKAPI “KE-4 WARGA YANG DITEMBAK,
DIBANTAI, DI BUNUH DAN DI MUTILASI OLEH TENTARA NASIONAL INDONESIA PADA 22 AGUSTUS 2022 DI UJUNG JALAN BUDI
UTOMO TIMIKA-PAPUA.”
Segala Perampokan, Penembakan,
Pembunuhan dan Pemutilasian bagi warga masyarakat Papua di mulai sejak tanggal
19 Desember 1961, Soekarno (Presiden Indonesia) mengumumkan pelaksanaan Trikora (Tiga Komando Rakyat) di
Alun-Alun Utara Yogyakarta.
Selanjutnya Soekarno juga
membentuk Komando Mandala. Mayor
Jenderal Soeharto diangkat sebagai panglima. Tugas komando ini adalah untuk
merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi
militer besar-besaran di Tanah
Papua untuk menggabungkan Papua ke dalam Indonesia.
Indonesia ialah pegiat pelanggar Hak Asasi Manusia di Tanah Papua. Lebih jauh kita melihat korban kekerasan militer NKRI dari awal kedudukannya di West Papua sampai tahun 2022. Pemerintah Indonesia lebih menyukai jalan operasi militer sebagai pola penyelesaian dan mempertahankan masalah Papua Barat. Kekuatan keamanan Indonesia telah menyelenggarakan berbagai operasi militer yang masif sejak 19 Desember 1961 setelah adanya Trikora. Pada setiap kali operasi militer tersebut NKRI memberikan nama khusus. Berikut operasi militer yang pernah dilakukan di Papua
- Operasi Jayawijaya (1961-1962) Setelah Komando Trikora dicanangkan di Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1961, operasi militer dilakukan di Tanah Papua dan banyak orang asli Papua yang disiksa, di tembak dan dibunuh secara sadis.
- Operasi Wisnumurti (1963-1964) Operasi ini tugas utama adalah menghancurkan TPN/OPM yang bergerak di sekitar Manokwari dan Kebar, sekaligus untuk menangkap Ferry Awom dan Julianus Wanma. Operasi yang dilancarkan sejak 10 Agustus 1965 ini dilancarkan secara intensif dari kampung ke kampung yang menjadi basis perlawanan OPM. dalam operasi ini dilaporkan 36 penduduk tewas dan banyak yang luka-luka.
- Operasi Sadar, dimulai tahun 1965 dan berakhir setelah dua tahun banyak Orang Papua yang tertembak mati;
- Operasi Barathayuda, dimulai tahun 1967. Melalui operasi ini dikabarkan 3.500 orang Papua meninggal;
- Operasi Wibawa (Operasi Otoritas), tahun 1969. Elieser Bonay, gubernur pertama Provinsi Papua, menyebutkan sekitar 30.000 masyarakat Papua mengalami pembunuhan oleh militer Indonesia antara tahun 1963 dan 1969. Frank Galbraith, Duta Besar Amerika Serikat untuk Jakarta saat itu, melaporkan kepada Washington (1969), bahwa operasi militer Indonesia telah mengorbankan ribuan orang asli Papua dan dikhawatirkan seperti dalam rumor yang beredar, ada “niat genosida.”
- Operasi militer pada tahun 1977, sasaran utamanya di Jayawijaya. Dalam operasi itu sekitar 12. 397 masyarakat Papua dibunuh;
- Operasi Sapu Bersih I dan II, diawali tahun 1981. Dalam operasi ini sedikitnya 1.000 orang di Kabupaten Jayapura dan 2.500 di Kabupaten Paniai telah terbunuh;
- Operasi Galang I dan II pada tahun 1982 dalam operasi ini sedikitnya ribuan masyarakat Papua telah terbunuh;
- Operasi Militer Tumpas (Annihilation Operation). Yang dimulai tahun 1983 dan 1984; Banyak masyarakat Papua yang disiksa, ditembak dan dibunuh.
- Operasi Sapu Bersih. Dalam operasi tersebut pasukan militer telah membunuh sedikitnya 517 orang dan sekitar 200 rumah dibakar;
- Operasi Kasuari di Mapenduma. Operasi ini dilakukan tahun 1996. Sedikitnya 35 orang ditembak mati, 14 perempuan diperkosa, 13 gereja dimusnahkan dan 166 rumah dibakar. Ketika itu 123 masyarakat sipil meninggal dunia karena sakit dan kelaparan di hutan. Pada tahun 1998 militer Indonesia ditarik kembali dari Papua. Status Daerah Operasi Militer (DOM) dicabut. Tetapi orang Papua yang pergi berburu di hutan masih dicap sebagai separatis;
- Operasi militer yang diselenggarakan pada tahun 2001 di Kabupaten Manokwari. Dalam operasi ini 4 orang terbunuh, 6 lainnya mengalami penyiksaan, 1 perempuan diperkosa, dan 5 orang tidak ditemukan;
- Operasi militer yang diluncurkan antara bulan April dan November 2003 di Wamena, Jayawijaya dan sekitarnya. Ditutup dengan lingkaran penjagaan di seluruh wilayah. Akses kelompok kerja gereja dan pekerja HAM ditolak selama operasi. Dalam operasi itu 9 orang terbunuh, 38 orang mengalami penyiksaan dan 15 lainnya ditahan secara sewenang-wenang. Ribuan masyarakat dari 25 kampung mengalami pengungsian, disertai kematian sekitar 42 orang yang mengungsi. Aparat militer juga membakar rumah, gedung gereja, sekolah dan pos kesehatan seluruh kampung itu;
- Operasi militer yang diselenggarakan di Kabupaten Puncak Jaya pada tahun 2004. Sedikitnya 6.000 orang Papua dari 27 kampung sekitarnya mengungsi di hutan, sekitar 35 orang (termasuk 13 lainnya anak-anak) meninggal di kamp dimana mereka mengungsi.
- Operasi militer di Nduga Tahun 2018 karena adanya kombatan senjata antara TNI/POLRI dan TPNPB/OPM maka Masyarakat yang mengungsi terdapat 4.276 pengungsi di Distrik Mapenduma, 4.369 pengungsi di Distrik Mugi, 5.056 pengungsi di Distrik Jigi, 5.021 pengungsi di Distrik Yal, dan 3.775 pengungsi di Distrik Mbulmu Yalma. Para pengungsi juga tersebar di Distrik Kagayem sebanyak 4.238 jiwa, Distrik Nirkuri sebanyak 2.982 jiwa, Distrik Inikgal sebanyak 4.001 jiwa, Distrik Mbua sebanyak 2.021 jiwa, dan Distrik Dal sebanyak 1.704 jiwa. banyak ibu-ibu yang melahirkan di hutan karena kesulitan mengakses pertolongan medis. Banyak kondisi balita yang tidak bisa mencukupi gizinya dengan baik saat berada di tempat pengungsian karena bahan makanan yang dibutuhkan tak tersedia dengan cukup bahkan ada masyarakat sipil yang diperlakukan semena-mena oleh aparat hingga meninggal dunia di beberapa kampung. Pendeta Geyimin Nirigi belum diketahui keberadaannya oleh pihak keluarga. Diduga pendeta tersebut telah dihilangkan paksa oleh aparat militer di Distrik Mapenduma dengan cara membakar honainya.Operasi Militer di Intan Jaya 2020 karena adanya Kombatan Senjata antara TNI/POLRI dan TPNPB/OPM akhirnya banyak masyarakat mengungsi dan disiksa sampai Bapak Pendeta Yeremias Janambani ditembak mati oleh Militer Bersenjata Indonesia (TNI) dan proses hukumnya sampai hari ini kita belum ketahui.
Tujuan
utama dari operasi militer di West Papua adalah untuk mengeliminasi orang-orang
Papua, yang oleh pemerintah Indonesia dicap separatis. Dewan Adat Suku-Suku
Papua, Kelompok kerja HAM lokal maupun internasional memperkirakan 100.000
orang Papua telah terbunuh oleh kekuatan militer Indonesia dari sejak 1961
sampai hari ini. Pasifnya perhatian hukum terhadap korban operasi militer
Sampai saat ini belum ada kepastian menyangkut advokasi dan mengadili semua
pelaku operasi yang mengorbankan banyak nyawa itu. Kemungkinan karena negara
dianggap telah sukses menganekasaikan bangsa Papua ke dalam NKRI. Pedihnya
kesengsaraan akibat penjara, mengungsi, trauma penangkapan, memperkosa serta
menembak mati dan memutilasi masyarakat Papua. Semua korban dari hasil operasi militer
itu kurang, bahkan jarang sekali mendapatkan keadilan, kebenaran, kepastian,
kejujuran bahkan sampai belum ada pembelaan terhadap masyarakat Papua. Semua korban masyarakat
Papua akibat operasi militer di West Papua: “TNI dan Polri menembak masyarakat
West Papua itu kategorinya
pelanggaran
HAM. Karena, Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Perang mengatakan kombatan
berhadapan kepada bukan kombatan. Sedangkan OPM dan TNI/POLRI baku tembak dan
salah satunya mati di tangan musuh. Itu masuk pada kategorinya bukan
pelanggaran HAM. Sebab, TNI/POLRI dan TPNPB/OPM adalah sama-sama kombatan dan
pelaku yang memiliki senjata.”
Upaya
hukum untuk mendapatkan tempat pengadvokasian dan pengadilan yang jelas pun
belum terlaksana dengan baik. Korban dan keluarga korban sangat menderita untuk
mendapatkan ‘hukum yang aktif’. Terkadang hukum berlaku tumpul ke atas dan
tajam ke bawah. Rakyat tertindas tetap berada di bawah penindasan. Pelaku di
vonis dan dipecat namun realitanya “Pecat di Papua aktif di Jakarta atau Pecat
di Makasar aktif di Manado,” kelakuan Pengadilan Militer maupun Pengadilan Umum
di Republik Indonesia. Dipastikan bahwa semua tindakan dan pembungkaman
tercermin dalam pengabdian terhadap kejujuran, keadilan, kebenaran dalam hukum
NKRI itu sendiri. NKRI gagal membangun hukum di West Papua. Keyakinan dan
kepastian hukum NKRI bagi rakyat Papua sudah usang dan tidak berlaku dan mati.
Karena dalam penegakan hukum dan HAM saja tidak jelas, bahkan belum pernah
mendapatkan upaya penegakan sedikit pun bagi pelaku kejahatan kemanusian di
Tanah Papua.
Berangkat
dari ini hari ini kami ditimpa dengan
kasus Perampokan, Penembakan, Pembunuhan dan Pemutilasian dan Para Pelaku
Perampokan, Penembakan, Pembunuhan dan “Pemutilasi” telah ditangkap sejak
tanggal 27 Agustus 2022 oleh aparat Kepolisian Resort Mimika dan SUBDENPOM
XVII/C TIMIKA, Pelaku dari Masyarakat Sipil berjumlah 4 empat) orang sedangkan
pelaku dari TNI 6 (Enam) Orang.
Maka
kami Sekertariat Bersama (SEKBER) Dewan Adat Suku-Suku Papua (DASSPA)
mengeluarkan Surat Seruan Protes Terbuka yaitu:
- Kepada Pihak Militer Republik Indonesia segera hentikan segala Kriminalisasi dan Stigmalisasi terhadap ke-4 korban adalah anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Pimpinan Egianus Kogoya untuk membenarkan segala kejahatan Perampokan, Penembakkan, Pembunuhan dan Pemutilasian yang diumumkan berubah-ubah dari jebakan jual beli senjata api dan amunisi kemudian berubah motif kearah murni perampokan adalah sebuah skenario untuk menutupi kejahatan kemanusian yang luar biasa ini.
- Kepada Presiden Republik Indonesia selaku Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia bahwa kami tidak setuju proses hukum diselesaikan melalui mekanisme Peradilan Militer bagi Pelaku dari Kalangan Militer dan Juga Proses Peradilan Umum bagi Para Pelaku dari kalangan sipil, kami sangat berharap proses penyelesain kasus ini bisa diselesaikan lewat mekanisme PENGADILAN HAM BERAT dengan Sanksi yang tegas dan maximal bagi Para Pelaku, agar ada keadilan bagi Para Korban dan Keluarga Korban serta ada efek jera bagi Para Pelaku.
- Pelaku
6 anggota TNI pembunuhan dipecat tanpa hormat, dan diharapkan kepada Panglima
TNI untuk membongkar kasus tersebut, hingga sampai ke akar-akar dan
penyelesaiannya harus jujur dan terbuka menyampaikan transparan kepada keluarga, masarakat Papua,
masarakat Indonesia dan masyarakat internasional terkait situasi pelanggaran
ham di tanah Papua.
- Hentikan
segala Operasi yang dilakukan oleh Negara kepada Orang Papua yaitu (1) Operasi
Hukum bagi Pemimpin Papua (2) Operasi Intelijen untuk masyarakat Papua (3)
Operasi Militer menggunakan senjata antara TNI/POLRI dan TPNPB/OPM yang disebut
kombatan.
- Presiden
Rebuplik Indonesia Ir. Joko Widodo, segera mengundang Komisi HAM Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk melakukan visi pemantauan pelanggaran HAM di tanah Papua,
skaligus membuka akses Wartawan Internasional serta membuka diri untuk
berdialog dengan masyarakat orang Asli Papua, secara bermartabat dan berwibawah
yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral. Seperti Aceh.
- Kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) segera mempasilitasi dan sekaligus menjadi Mediator dalam Dialog atau Perundingan antara Indonesia dan Papua untuk duduk mencari solusi atas problem sosial politik yang terjadi di tanah Papua pada umumnya dari akar masalahnya, maka harus ada ruang dialog untuk menyelesaikan akumulasi masalah-masalah sosial politik, hal dialog yang paling mendasar adalah menyelesaikan akar masalah di Papua yang disebut dengan, “PELURUSAN SEJARAH,” secara obyektif dan masing-masing pihak yang terlibat dalam dialog harus sepakat menerima apapun hasilnya. Proses ini sangat penting untuk dilakukan karena sangat menentukan realitas integritas bangsa Papua hari ini, karena sampai saat ini mengenai sejarah integrasi Papua oleh mayoritas masyarakat Papua masih dinilai kabur dan masyarakat tahu karena politik sengaja dikaburkan. Adapun hal-hal yang sangat urgent untuk diklasifikasikan serta menjadi penyebab timbulnya pergolakan politik, dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) ditanah Papua antara lain :
1) Bahwa sampai saat ini
sebagian
besar masyarakat
Papua membenarkan bahwa Papua pernah berdaulat sejak tanggal 01 Desember 1961. Subtansinya jelas butuh klarifikasi, sebab soal
ini
ada relevansinya dengan salah
satu butir isi Tri Komando Rakyat (TRIKORA) yang menyatakan : “Bubarkan Negara Boneka Papua
buatan Belanda”.
2) Bahwa lahirnya New York Agreement (Perjanjian New York) tanggal 15 Agustus 1962 oleh
Mayoritas Rakyat
Papua dipertanyakan dasar hukumnya, karena rakyat Papua menganggap itu sebagai pelecehan terhadap
integritasnya, karena sebagai anak negeri yang hidup diatas tanah ini
tidak
pernah diikut
sertakan dalam perundingan-perundingan antara Indonesia,
Belanda dengan fasilitator Mr. Elswort
Bunker sebagai wakil Perserikatan Bangsa-Bangsa padahal sangat disadari bahwa konsep Elwort
Bunker itulah
cikal
bakal isi Perjanjian
New
York
1962
yang menentukan
masa
depan bangsa
dan
tanah ini.
3) Bahwa Penyerahan Kedaulatan dari Belanda ke UNTEA dan
UNTEA ke Indonesia menurut Perjanjian New York dilakukan
dengan dua tahap dengan mekanisme tahap pertama Belanda menyerahkan kedaulatan tanah ini ke UNTEA dan tahap kedua
UNTEA
akan menyerahkan kepada Indonesia
dengan
syarat setelah diserahkan kepada Indonesia
akan dilakukan
self
determination, plebisit atau lebih dikenal dengan PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat)
dengan
batas waktu akhir
tahun
1969.
4) Bahwa Rezim Orde Baru telah mengingkari perjanjian New York 1962 yang
pada
dasarnya menyatakan
bahwa dalam
semangat
Perjanjian New York 1962
dan Statuta Roma 20-21 Mei 1969 dilakukan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat
Papua namun kenyataan yang diterima oleh masyarakat Papua sejak Penentuan Pendapat Rakyat sampai adanya Kabinet Pembangunan dibawah rezim Suharto justru tidak menunjukan realisasi semangat tersebut;
5) Bahwa di Era Reformasi sejak tumbangnya Rezim Orde Baru, baik masa pemerintahan Presiden Habibie, Gusdur, Megawati, Susilo Bambang Yudoyono
dan
kini dibawah
Pemerintahan
Joko Widodo, persoalan
“PELURUSAN SEJARAH”,
belum
mendapat
respon penyelesaikan
secara bermartabat.
Demikianlah Surat Seruan Protes Terbuka dan
atas perhatiannya disampaikan terima kasih. Tuhan memberkati.
Timika, 10
September 2022
Mengetahui an. Keluarga Korban Ketua Umum Dewan Adat Suku Nduga
Kabupaten Mimika TTD ELIPANUS
WASAREAK |
Fasilitator Sekertariat Bersama Dewan Adat Suku-Suku Papua TTD D E S E R I U S A D I I |
TURUT
DI DUKUNG OLEH :
1.
Ketua
Dewan Adat Suku-Suku Wilayah Mamta di Timika
2.
Ketua
Dewan Adat Suku-Suku Wilayah Saireri di Timika
3.
Ketua
Dewan Adat Suku-Suku Wilayah Domberay di Timika
4.
Ketua
Dewan Adat Suku-Suku Wilayah Bomberay di Timika
5.
Ketua
Dewan Adat Suku-Suku Wilayah Ha. Anim di Timika
6.
Ketua
Dewan Adat Suku-Suku Wilayah Mee Pago di Timika
7.
Ketua
Dewan Adat Suku-Suku Wilayah La Pago di Timika
8.
Ketua
Dewan Adat Suku Kamoro di Timika
9.
Ketua
Dewan Adat Suku Amungme di Timika
10.
Ketua
Dewan Adat Suku Mee di Timika
11.
Ketua
Dewan Adat Suku Damal di Timika
12.
Ketua
Dewan Adat Suku Moni di Timika
13.
Ketua
Dewan Adat Suku Nduga di Timika
14.
Ketua
Dewan Adat Suku Lani di Timika
15.
Ketua
Dewan Adat Suku Dani di Timika
16.
Ketua
Dewan Adat Suku Biak di Timika
17.
Ketua
Dewan Adat Suku Nabire di Timika
18.
Ketua
Dewan Adat Suku Manokwari di Timika
19.
Ketua
Dewan Adat Suku Sorong di Timika
20.
Ketua
Dewan Adat Suku Asmat di Timika
21.
Ketua
Dewan Adat Suku Marind Merauke di Timika
22.
Ketua
Dewan Adat Suku Mappi di Timika
23.
Ketua
Dewan Adat Suku Fak-Fak di Timika
24.
Ketua
Dewan Adat Suku Kaimana di Timika
25.
Ketua
Dewan Adat Suku Ngupel Ngalum di Timika
26.
Ketua
Dewan Adat Suku Jayapura di Timika
27.
Tokoh-Tokoh
Agama dari 7 Wilayah Adat di Timika
28.
Tokoh-Tokoh
Adat dari 7 Wilayah Adat di Timika
29.
Tokoh-Tokoh
Pemuda dari 7 Wilayah Adat di Timika
30.
Tokoh-Tokoh
Perempuan dari 7 Wilayah Adat di Timika
31.
Keluarga
Korban (4 Korban Keluarga) di Timika